Jumat, 05 Juni 2009

Wong Cilik Vs Wong Licik

Seperti biasa, setiap kali akan digelarnya perhelatan demograsi di republik ini, entitas "rakyat" selalu jadi primadona, terutama bagi mereka para "elit politik". Tendensi ini mukin wajar, mereka butuh dukungan (suara) rakyat untuk memuluskan obesisi dan ambisi politiknya mendapatkan kursi kekuasaan. Lantas untuk merebut simpati hati rakyat tersebut, tak jarang mereka memakai trik bahkan intrik persuasif yang menghalalkan segala cara.
Sebagai contoh mutakhir, coba lihat apa yang dilakukan para capres/cawapres, semuanya begitu getol mengagung-agungkan rakyat, pro ekonomi rakyat, pro wong-cilik.Bahkan untuk menunjukkan keseriusannya, tak jarang mereka melakukan aktivitas-aktivitas over-empati, seperti mengunjungi pasar-pasar tradisional, nelayan, petani, buruh dsb yang termasuk dalam komunitas "wong cilik".Sebegitu "care" kah mereka terhadap nasib wong cilik ? Tulus dan ikhlaskah mereka melakukan semua itu ?
Tunggu dulu, belum tentu, semua itu masih perlu dibuktikan : Yang jelas (sebelum) selama ini kita mengenal mereka bukan orang-orang pro wong cilik, melainkan mereka adalah "wong licik" yang susah dipegang cakap apalagi janjinya . Betul nggak ?!.Bukankan ada pepatah yang mengatakan: "ada musang berbulu domba".atau "selalu ada udang dibalik bakwan". Bahkan Machiavelli sudah pernah membongkar kedok manusia seperti mereka:"penguasa itu dalam aksinya mempunyai dua muka. Suatu saat ia bisa menjadi singa yang kejam, tapi dilain waktu ia bisa juga menjelma jadi rubah yang licik".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar